Jumat, 01 Juli 2011

PENDEKATAN MODEL COOPERATIVE LEARNING PADA SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR.


A.    Pendekatan Cooperative Learning.
      Salah satu upaya pembelajaran (pengajaran memusat murid) adalah membuat murid belajar berkelompok dan bekerja sama melakukan kegiatan belajar dalam kelompok. Ini yang lazim disebut dengan Cooperative Learning, belajar dengan bekerja sama
1.      Pengertian Cooperative Learning.
      Beberapa pakar pendidikan mendefinisikan cooperative learning, sebagai berikut :
a.   Menurut Salvin (1995) mngemukakan bahwa cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang mana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siwa lebih semangat dalam belajar.
b.      Menurut Anite lie (2000) cooperative learning adalah pembelajaran gotong-royong yang mana system pembelajarannya memberi kesempatan peserta didik untuk bekerja sama dengan peserta lain dalam tugas-tugas yang terstruktur (tugas yang telah ditentukan).
c.   Menurut Azizah (1998) cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan.
      Definisi di atas menjelaskan bahwa belajar kooperatif merupakan model pembelajaran yang menekankan adanya kerjasama antara siswa dalam kelompok untuk mencapai tujuan belajar
      Lebih lanjut Watson (Jufri, 2000:14) yang dikutip dari Armi Perdana menyatakan bahwa cooperatif learning (belajar kelompok) merupakan suatu lingkungan belajar di kelas, di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan umum. Belajar kelompok merupakan pendekatan yang dilakukan agar siswa dapat bekerja sama dengan yang lain untuk memahami kebermaknaan isi pelajaran dan bekerja sama secara aktif dalam menyelesaikan tugas.
2.      Tujuan Cooperative Learning.
      Tujuan Cooperative Learning adalah untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa serta memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang untuk saling membantu dalam menuntas materi pelajaran, karena keberhasilan kelompok ditentukan oleh kemampuan dari masing-masing anggota kelompok memahami materi pelajaran. Disamping itu juga dapat meningkatkan keterampilan sosial dari siswa tersebut, dimana di dalam kelompok mereka harus saling menghargai satu sama lain tanpa melihat perbedaan yang ada pada masing-masing anggota kelompok.
Tujuan Cooperative Learning menurut Ibrahim (dalam Nur, 2006:12) adalah sebagai berikut :
1.      Pencapaian hasil belajar Tujuan Cooperative Learning adalah untuk memperbaiki prestasi belajar atau tugas-tugas akademik, serta memahami konsep-konsep sulit.
2.      Penerimaan terhadap perbedaan individu. Tujuan ini adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan dan ketidakmampuannya dalam belajar bersama.
3.      Pengembangan keterampilan sosial. Tujuannya adalah mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi.
      Melalui anggota kelompoknya baik kemampuan akademik, jenis kelamin, usia, latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya, para siswa juga diharapkan menerima keragaman tersebut dan memaksimalkan kerja sama kelompok, sehingga masing-masing anggota kelompok siap menghadapi tes dan hasil belajar akan tercapai dengan optimal.
      Roger dan David Johnson dalam Lie (2002) menyatakan bahwa “tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning”. Menurutnya untuk mencapai hasil yang maksimal ada 5 unsur model pembelajaran yang harus diterapkan, yaitu:
1.      Saling ketergantungan positif.
2.      Tanggung jawab perseorangan.
3.      Tatap muka.
4.      Komunikasi pada anggota.
5.      Evaluasi kelompok.

3.      Jenis-jenis Cooperative Learning.
      Menurut Noornia (1997:14) terdapat banyak model pembelajaraan kooperatif yang berhasil dikembangkan peneliti-peneliti pendidikan dan telah diterapkan pada beragam materi pembelajaran diantaranya adalah:
1. STAD (Student Teams-Achievement Divisions) merupakan pembelajaran kooperatif yang menekankan pada kerja sama kelompok dan tanggung jawab kelompok untuk mencapai ketuntasan belajar dengan melibatkan peran tutor sebaya.
2.   JIGSAW merupakan pembelajaran kooperatif yang anggota kelompoknya diberi tugas berbeda satu dengan yang lainnya dari sebuah tema yang dibahas, kemudian tes diberikan secara menyeluruh agar semua kelompok mengetahui semua pokok bahasan.
3.   Teams-Games Tournament (TGT) merupakan bentuk pembelajaran kooperatif dimana setelah siswa belajar secara individual, untuk selanjutnya dalam kelompok masing-masing anggota kelompok mengadakan turnamen atau lomba dengan anggota kelompok lainnya sesuai dengan tingkat kemampuannya.
4.   Investigation Group merupakan suatu pembelajaran kooperatif di mana semua anggotanya dituntut untuk merencanakan apa yang diteliti dan bersama-sama kelompok membuat rencana pemecahannya.
      Berdasarkan uraian di atas diketahui terdapat bermacam-macam model pembelajaraan kooperatif. Slavin (Noornia, 1997:17) menyatakan walaupun metode pembelajaran kooperatif berbeda-beda, akan tetapi semua mendasarkan pelaksanaannya pada lima karakteristik berikut:
1.   Tujuan kelompok
2.   Tanggung jawab individual
3.   Kesempatan yang sama untuk mencapai keberhasilan
4.   Spesialisasi tugas
5.   Adaptasi terhadap kebutuhan individual
B.     Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar.
1.      Hakikat Pembelajaran Matematika.
      Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan menciptakan teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
      Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
      Pendekatan pemecahan masalah merupakan focus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tinggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal , dan masalah berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.
      Dalam setiap kemampuan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika.

2.      Tujuan Pembelajaran Matematika.
      Tujuan pengajaran matematika adalah untuk:
a.       Menumbuhkan dan mengembangkan keterampilan berhitung (menggunakan bilangan sebagai alat dalam kehidupan sehari-hari).
b.      Menumbuhkan kemampuan siswa, yang dapat dialih gunakan melalui kegiatan matematika.
c.       Mengembangkan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut di SLTP.
d.      Membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif, dan disiplin (Depdikbud, 1994).
3.      Manfaat Pembelajaran Matematika.
      Beberapa manfaat yang didapat dari belajar matematika. Cara berpikir matematika itu sistematis, melalui urutan-urutan yang teratur dan tertentu. dengan belajar matematika, otak kita terbiasa untuk memecahkan masalah secara sistematis. Sehingga bila diterapkan dalam kehidupan nyata, kita bisa menyelesaikan setiap masalah dengan lebih mudah. Belajar matematika melatih kita menjadi manusia yang lebih teliti, cermat, dan tidak ceroboh dalam bertindak. Kita harus memperhatikan benar-benar berapa angkanya, berapa digit nol dibelakang koma, bagaimana grafiknya, bagaimana dengan titik potongnya dan lain sebagainya. Jika kita tidak cermat dalam memasukkan angka, melihat grafik atau melakukan perhitungan, tentunya bisa menyebabkan akibat yang fatal. Jawaban soal yang kita peroleh menjadi salah dan kadang berbeda jauh  dengan jawaban yang sebenarnya.
      Belajar matematika juga mengajarkan kita menjadi orang yang sabar dalam menghadapi semua hal dalam hidup ini. saat kita mengerjakan soal dalam matematika yang penyelesaiannya sangat panjang dan rumit, tentu kita harus bersabar dan tidak cepat putus asa. Yang tidak kalah pentingnya, sebenarnya banyak penerapan matematika dalam kehidupan nyata. tentunya dalam dunia ini, menghitung uang, laba dan rugi, masalah pemasaran barang, dalam teknik, bahkan hampir semua ilmu di dunia ini pasti menyentuh yang namanya matematika. Matematika mempunyai potensi yang besar untuk memberikan berbagai macam kemampuan, dan sikap yang diperlukan oleh manusia agar ia bisa hidup secara cerdas (intelligent) dalam lingkungannya, dan agar bisa mengelola berbagai hal yang ada di dunia ini dengan sebaik-baiknya.
4.      Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika.
      Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1.      Bilangan
2.      Geometri dan pengukuran
3.      Pengolahan data.
C.    Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Cooperative Learning.
      Cooperative learning dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa meningkatkan sikap positif. Siswa belajar membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah matematika. Terjadinya interaksi dalam kelompok, dapat melatih siswa menerima siswa lain yang berkemampuan dan berlatar belakang berbeda. Melalui model ini dapat meningkatkan berpikir kritis serta meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah. Penerapan pembelajaran kooperatif pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan kemandirian berpikir siswa (Kumastuti, 2002). Cooperative learning mencakup suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai tim untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan bersama.
      Ada beberapa cara menggunakan ”cooperative learning” dalam pembelajaran matematika, yakni:
a.   Dengan memanfaatkan tugas rumah.
b.   Pembahasan materi baru.
      Menurut Akbar Sutawijaya (2002 : 358) dalam Nurman, pembelajaran kooperatif adalah salah satu alternatif yang perlu digalakkan dalam konstruktivisme, karena pertimbangan sebagai berikut:
a.   Siswa yang sedang menyelesaikan masalah bersama-sama dengan teman sekelas, akan dapat menumbuhkan refleksi yang membutuhkan kesadaran tentang apa yang sedang dipikirkan dan dikerjakan.
b.   Menjelaskan kepada temannya biasanya mengarah kepada suatu pemahaman yang lebih kuat dan sering menemukan ketidak konsistenan pada pikirannya sendiri.
c.   Ketika suatu kelompok kecil menerangkan solusinya ke seluruh kelas (tidak peduli apakah solusi itu cocok atau tidak), kelompok memperoleh kesempatan berharga untuk mempelajari hasil yang diperoleh.
d.   Mengetahui bahwa ada teman sekelompok belum bisa menjawab, akan meningkatkan gairah setiap anggota kelompok untuk mencoba menemukan jawabannya.
e.   Keberhasilan suatu kelompok menemukan suatu jawaban, akan menumbuhkan motivasi untuk menghadapi masalah baru.
            Melalui pembelajaran model ini, diharapkan dapat melatih siswa untuk mendengarkan pendapat orang lain dan merangkum pendapat atau temuan dalam bentuk tulisan. Tugas kelompok dapat memacu semangat belajar siswa untuk bekerja sama, saling membantu dalam mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
Cooperative learning dalam pembelajaran matematika dapat membantu siswa meningkatkan sikap positif. Siswa belajar membangun kepercayaan diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan masalah matematika. Terjadinya interaksi dalam kelompok, dapat melatih siswa menerima siswa lain yang berkemampuan dan berlatar belakang berbeda. Melalui model ini dapat meningkatkan berpikir kritis serta meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah.

Kamis, 30 Juni 2011

PENDIDIKAN DASAR

A.      4 PILAR PENDIDIKAN
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat.Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Tujuan pendidikan yang kita harapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap, mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, berdisiplin dan bermoral tinggi, demokratis, dan toleran dengan mengutamakan persatuan bangsa dan bukannya perpecahan.
Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa, siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya. Empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan yang dicanangkan oleh UNESCO yang perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan formal, yaitu:
1.   learning to Know (belajar untuk mengetahui),
2.   learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) dalam hal ini kita dituntut untuk terampil dalam melakukan sesuatu,
3    learning to be (belajar untuk menjadi seseorang),dan
4.   learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).
Dalam rangka merealisasikan `learning to know`, Guru seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator. Di samping itu guru dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan siswa dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.
Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu) akan bisa berjalan jika sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang. Pendidikan yang diterapkan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.
Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang) erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran guru dan guru sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri siswa secara maksimal. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima (take and give), perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Penerapan pilar keempat ini dirasakan makin penting dalam era globalisasi/era persaingan global. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia di era globalisasi ini.
Mengenai kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh adalah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah, khususnya di kabupaten/kota, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, yaitu:
1.   Bagaimana kondisi gurunya? (persebaran, kualifikasi, kompetensi penguasaan materi, kompetensi pembelajaran, kompetensi sosial-personal, tingkat kesejahteraan);
2.   Bagaimana kurikulum disikapi dan diperlakukan oleh guru dan pejabat pendidikan daerah?;
3.   Bagaimana bahan belajar yang dipakai oleh siswa dan guru? (proporsi buku dengan siswa, kualitas buku pelajaran);
4.   Apa saja yang dirujuk sebagai sumber belajar oleh guru dan siswa?;
5.   Bagaimana kondisi prasarana belajar yang ada?;
6.   Adakah sarana pendukung belajar lainnya? (jaringan sekolah dan masyarakat, jaringan antarsekolah, jaringan sekolah dengan pusat-pusat informasi);
7.   Bagaimana kondisi iklim belajar yang ada saat ini?.
Mutu pendidikan dapat ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat daerah, perguruan tinggi, organisasi massa, organisasi politik, pusat penerbitan, studio radio/TV daerah, media masa/cetak daerah, situs internet, dan sanggar belajar.

B.      PRAKTEK PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA
Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang terbawah dari sistem pendidikan nasional, seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan tingkat menengah. Pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya sembilan tahun diselenggarakan selama enam tahun di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan tiga tahun di Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan perwujudan pendidikan dasar untuk semua anak usia 6 – 15 tahun. Pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 2 Mei 1994, dan pelaksanaannya dimulai tahun ajaran 1994/1995. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia bukanlah wajib belajar dalam arti compulsory education seperti yang dilaksanakan di negara-negara maju, dengan ciri-ciri:
1.   ada unsur paksaan agar peserta didik bersekolah;
2.   diatur dengan undang-undang tentang wajib belajar;
3.   tolok ukur keberhasilan wajib belajar adalah tidak ada orang tua yang terkena
      sanksi, karena telah mendorong anaknya tidak bersekolah; dan
4.   ada sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah.
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia lebih merupakan
universal education daripada compulsory education. Universal education berusaha
membuka kesempatan belajar dengan menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua
agar anak yang telah cukup umur mengikuti pendidikan. Dengan demikian, program
wajib belajar pendidkan dasar 9 tahun di Indonesia lebih mengutamakan:
1.   pendekatan persuasif;
2.   tanggung jawab moral orang tua dan peserta didik agar merasa terpanggil untuk
      mengikuti pendidikan karena berbagai kemudahan yang disediakan;
3.   pengaturan tidak dengan undang-undang khusus; dan
4.   penggunaan ukuran keberhasilan yang bersifat makro, yaitu peningkatan angka
      partisipasi murni peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar.
Bentuk-bentuk satuan pendidikan untuk membantu menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun di Indonesia terdiri atas 10 wahana dan empat rumpun, baik pada tingkat SD maupun SMP, yaitu:
1.   Rumpun SD dan SMP yang terdiri atas SD dan SMP Biasa, SD dan SMP kecil, dan
      SD dan SMP Pamong;
2.   Rumpun SD dan SMP Luar Biasa yang terdiri atas SD dan SMP Luar Biasa, SDLB
      dan SMPLB, serta SD dan SMP Terpadu;
3.   Rumpun Pendidikan Luar Sekolah yang terdiri atas Program Kelompok Belajar Paket A dan B (Kejar Paket A untuk setingkat SD dan Kejar Paket B untuk setingkat SMP), serta Kursus Persamaan SD dan SMP;
4.   Rumpun Sekolah Keagamaan yang terdiri atas Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Pondok Pesantren.
Bentuk satuan pendidikan dasar formal yang menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.   SD/SMP Biasa, yaitu SD/SMP yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat dalam situasi yang normal;
2.   SD/SMP Kecil, yaitu SD/SMP negeri yang diselenggarakan di daerah yang berpenduduk sedikit dan memenuhi persyaratan yang berlaku;
3.   SD/SMP Pamong, yaitu SD negeri yang didirikan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak putus SD/SMP dan/atau anak lain yang tidak dapat datang secara teratur untuk belajar di sekolah;
4.   SD/SMP Terpadu, yaitu SD/SMP negeri yang menyelenggarakan pendidikan untuk anak yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental bersama anak normal dengan mempergunakan kurikulum yang berlaku di sekolah.
5.   Madrasah Ibtidaiyah/Madrasah Tsanawiyah, yaitu SD/SMP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat, di bawah bimbingan Departemen Agama
Upaya perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan dasar di Indonesia telah dilaksanakan secara formal sejak tahun 1984 untuk tingkat SD, dilanjutkan pada tahun 1994 untuk pendidikan dasar 9 tahun. Hasil yang telah dicapai cukup memuaskan, ditunjukkan dengan meningkatnya APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) SD/MI dan SMP/MTs. Namun akibat krisis ekonomi dan terjadinya konflik sosial di berbagai daerah yang mengganggu program-program pendidikan dasar, maka angka partisipasi menjadi terganggu. Untuk menyelamatkan generasi mendatang dari ancaman kebodohan dan kemunduran, peningkatan partisipasi pendidikan dasar merupakan agenda yang tidak dapat diabaikan dalam pembangunan pendidikan nasional.
Untuk mendukung keberhasilan penyelengaraan pendidikan dasar yang bermutu di masa depan, pemerintah telah dan sedang melaksanakan berbagai strategi penuntasan wajib belajar pendidikan dasar, antara lain:
1.   pemantapan prioritas pendidikan dasar 9 tahun,
2.   pemberian beasiswa dengan sasaran yang strategis,
3.   pemberian insentif kepada guru yang bertugas di wilayah terpencil,
4.   pemantapan peran SD kecil dan SMP terbuka,
5.   penggalakkan Kejar Paket A dan B,
6.   pemantapan sistem pendidikan terpadu untuk anak berkelainan, dan
7.   peningkatan keterlibatan masyarakat untuk menunjang “pendidikan untuk semua”
(education for all).
Upaya pemerataan dan perluasaan kesempatan pendidikan dasar di Indonesia tidak hanya bernuansa kuantitatif melainkan juga kualitatif. Strategi perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan dasar yang bermutu, termasuk pengembangan pendidikan alternatif, dijadikan sebagai wahana untuk aktualisasi asas pendidikan sepanjang hayat. Misalnya, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam diposisikan kembali sebagai lembaga pendidikan alternatif, sehingga tidak kehilangan karakternya sebagai wahana pendidikan yang populis dan berperan besar dalam memperkaya sistem pendidikan nasional.
Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan
Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, maka pengelolaan teknis operasional penyelenggaraan pendidikan dasar di Indonesia menjadi tanggung jawab dan kewenangan pemerintah kabupaten/kota, kecuali pengelolaan RA/MI/MTs. Tanggung jawab pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pendidikan adalah menetapkan standar-standar penyelenggaraan pendidikan dasar, antara lain mencakup: standar isi kurikulum, standar kompetensi lulusan, standar pengelolaan, standar pendidik dan tenaga kepedidikan, standar sarana dan fasilitas belajar, standar pembiayaan, dan standar penilaian proses dan hasil belajar peserta didik. Pembagian tugas dan kewenangan pengelolaan pendidikan dasar ini secara rinci ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan dan Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom .
Pada tingkat pusat, pengelolaan dan pembinaan pendidikan dasar dilakukan oleh Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, dalam hal ini Direktorat Pembinaan TK/SD untuk satuan pendidikan TK dan SD, dan Direktorat Pembinaan SMP untuk satuan pendidikan SMP. Sedangkan pembinaan program Pendidikan Anak Usia Dini, Paket A, dan Paket B dilksanakan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah. Selain itu, pembinaan satuan pendidikan RA, MI, dan MTs dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Madrasah, Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam, Departemen Agama.

Pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, pembinaan pendidikan dasar dilaksanakan
oleh Sub Dinas Pendidikan Dasar, dan Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota masing-masing. Selain itu, Kantor Departemen Agama tingkat provinsi dan kabupaten/kota melalui Bidang Pembinaan Madrasah melaksanakan pembinaan satuan pendidikan Roudlatul Atfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).

C.PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN DASAR DI MASA DEPAN
Konsep dasar dan esensi pendidikan dasar yang dimiliki para pengambil kebijakan
pendidikan dasar pada tingkat nasional, regional maupun kabupaten/kota, dan pengelola pendidikan dasar pada tingkat satuan pendidikan akan berpengaruh terhadap formula pengembangan kurikulum pendidikan dasar di masa depan. Program belajar atau kurikulum pada setiap jenis satuan pendidikan dasar di masa depan harus dirancang dengan mempertimbangkan esensi dan fungsi pokok pendidikan dasar seperti yang dijelaskan pada bagian B tulisan ini.
Pengembangan kurikulum pendidikan dasar harus dikaitkan dengan karakteristik kualitas sumber daya manusa yang diperlukan untuk kehidupan mereka di masyarakat, dan sekaligus mempertimbangkan karakteristik perbedaan kelompok peserta didik di masing-masing jenis dan jenjang satuan pendidikan dasar. Konsep dasar yang komprehensif dan luas tentang fungsi pokok pendidikan dasar tidak hanya dipergunakan untuk masyarakat, tetapi hendaknya tertuju pada suatu kajian tentang praktek dan kebijakan pendidikan dasar pada tingkat awal dari semua negara. Tujuannya, untuk memberikan suatu landasan yang mantap bagi praktek belajar peserta didik di masa depan dan mengembangkan keterampilan hidup (life skills) yang esensial untuk membekali peserta didik agar mampu hidup bermasyarakat.
Dalam menghadapi harapan dan tantangan masa depan yang lebih baik, pendidikan
dipandang sebagai esensi kehidupan, baik bagi perkembangan pribadi maupun perkembangan masyarakat. Misi pendidikan, termasuk pendidikan dasar, adalah memungkinkan setiap orang, tanpa kecuali, mengembangkan sepenuhnya semua bakat individu, dan mewujudkan potensi kreatifnya, termasuk tanggung jawab terhadap diri sendiri, dan pencapaian tujuan pribadi. Misi itu akan dapat tercapai melalui strategi yang disebut belajar sepanjang hidup (learning throughout life), yang dipandang sebagai detak jantung dari masyarakat.


Dengan mengikuti gagasan konsep belajar sepanjang hidup, maka pengembangan
kurikulum pendidikan dasar harus memberikan tekanan yang lebih besar pada salah satu dari empat pilar yang diusulkan dan digambarkan sebagai dasar pendidikan, yaitu: belajar hidup bersama (learning to live together). Dalam pola ini, pendidikan dilakukan dengan mengembangkan suatu pemahaman tentang orang lain, sejarah, tradisi, dan nilai-nilai spiritual mereka. Dengan berpijak pada landasan tersebut, pendidikan dasar dapat menciptakan suatu semangat baru yang dibimbing oleh kesadaran tentang resiko atau tantangan masa depan, sehingga mendorong orang melaksanakan proyek bersama atau mengelola konflik yang pasti terjadi, dengan suatu cara yang bijaksana dan damai.
Untuk mendukung terwujudnya gagasan tersebut di atas, maka strategi awal pengembangan kurikulum pendidikan dasar adalah penekanan kepada pilar pertama dari 4 (empat) pilar pendidikan yang ditetapkan UNESCO, yaitu belajar mengetahui (learning to know). Adanya perubahan yang cepat yang dibawa oleh kemajuan ilmiah dan norma-norma baru tentang kegiatan ekonomi dan sosial, tekanan pada belajar untuk hidup bersama dipadukan dengan suatu pendidikan umum yang cukup luas dengan melalui belajar memperoleh pengetahuan sebagai alat untuk memahami hidup.
 Pilar berikutnya yang harus dipelajari peserta didik pendidikan dasar adalah belajar menjadi dirinya sendiri (learning to be). Belajar bekerja (learning to do) juga pilar pendidikan yang harus dipelajari oleh peserta didik pendidikan dasar. Disamping belajar bekerja melakukan sesuatu pekerjaan, secara lebih umum perlu pula menguasai kemampuan yang memungkinkan orang mampu menghadapi berbagai situasi yang sering tidak dapat diduga sebelumnya, dan bekerja dalam berbagai tim.
Akhirnya, pilar pendidikan yang keempat yang harus dipelajari peserta didik pendidikan dasar adalah learning to live together . Hal ini berarti bahwa kurikulum (program
belajar) pendidikan dasar harus memfasilitasi peserta didik untuk belajar lebih bebas dan mempunyai pandangan sendiri yang disertai dengan rasa tanggung jawab pribadi yang lebih kuat untuk mencapai tujuan hidup pribadinya atau tujuan bersama sebagai anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan pendidikan yang bermutu untuk seluruh lapisan peserta didik pendidikan dasar, maka pengembangan kurikulumnya harus dirancang sebagai keseluruhan dari penawaran lembaga pendidikan (sekolah) termasuk kegiatan di luar kelas/sekolah dengan rangkaian mata pelajaran dan kegiatan yang terpadu. Setiap satuan pendidikan memperoleh identitas atas dasar caranya mereka menjalankan programprogram belajar yang dikembangkannya.
Faktor-faktor yang menentukan isi tiap program harus muncul jauh di luar batas-batas sekolah/satuan pendidikan. Faktor-faktor itu timbul melalui kekuatan-kekuatan sosial, kultural, ekonomi, dan politik. Kurikulum suatu sekolah/satuan pendidikan dasar harus mewakili keseluruhan sistem pengaruh yang membangun lingkungan belajar bagi peserta didik. Program itu sendiri terdiri atas unsur-unsur tertentu yang mencakup maksud dan tujuan, kurikulum, metode pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar peserta didik.
Pengembangan program belajar (kurikulum) pada tingkat pendidikan dasar harus meliputi hal-hal esensial yang dibutuhkan peserta didik, seperti: bidang-bidang studi apa yang akan disajikan; untuk maksud-maksud khusus apa bidang studi tersebut disajikan; bagaimana bidang studi tersebut hendak disusun dan dihubung-hubungkan; dan bagaimana bidang studi tersebut diajarkan kepada peserta didik. Dengan kata lain, program belajar pendidikan dasar harus dikembangkan secara terpadu dan berlandaskan kepada pengembangkan kemampuan pemecahan masalah kehidupan yang perlu dikuasai peserta didik .
Secara konseptual, pengembangan kurikulum pendidikan dasar masa depan perlu
mangakomodasikan secara sistematis dimensi-dimensi pengembang-an peserta didik sebagai berikut:
1. Pengembangan individu - aspek-aspek hidup pribadi (dimensi pribadi):
     a. Religi: kesadaran beragama
     b. Fisik: kesehatan jasmani dan pertumbuhan
     c. Emosi: kesehatan mental dan stabilitas emosi
     d. Etika: integritas moral
     e. Estétika: pengajaran kultural dan rekreasi
2. Pengembangan cara berpikir dan teknik memeriksa – kecerdasan yang terlatih
   (dimensi kecerdasan):
      a. Penguasaan pengetahuan: konsep-konsep dan informasi
b.Komunikasi pengetahuan: keterampilan untuk memperoleh dan menyampaikan     informasi
      c. Penciptaan pengetahuan: cara pemeriksaan, diskriminasi, dan imaginasi.
      d. Hasrat akan pengetahuan: kesukaan akan belajar.
3. Penyebaran warisan budaya – nilai-nilai civic dan moral bangsa (dimensi sosial):
      a. Hubungan antar manusia: kerjasama, toleransi
b. Hubungan individu-negara: hak dan kewajiban civic, kesetiaan dan patriotisme solidaritas nasional
      c. Hubungan individu-dunia: hubungan antar bangsa-bangsa, pemahaman dunia.
      d. Hubungan individu-lingkungan hidupnya: ekologi.
4. Pemenuhan kebutuhan sosial yang vital dan menyumbang lepada kesejahteraan ekonomi,         sosial, dan politik – lapangan teknik (dimensi produktif):
       a. Pilihan pekerjaan: informasi dan bimbingan
       b. Persiapan untuk bekerja: latihan dan penempatan
c. Rumah dan keluarga: mengatur rumah tangga, keterampilan mengerjakan sesuatu   sendiri, perkawinan
       d. Konsumen: membeli, menjual, investasi.
Untuk mendukung keterlaksanaan pengembangan kurikulum pendidikan dasar masa depan tersebut di atas, perlu dikembangkan suatu masyarakat belajar (learning society) pada setiap satuan pendidikan dasar. Hal tersebut dimungkinkan, karena setiap aspek kehidupan, baik pada tingkat individual maupun sosial, menawarkan kesempatan untuk belajar dan bekerja.
Oleh karena itu, pengembangan program belajar (kurikulum) pendidikan dasar di masa depan perlu mendorong dan memfasilitasi penggalian potensi pendidikan dari media teknologi informasi modern, dunia kerja atau kultural, dan pengisian waktu luang. Selain itu, perlu dikembangkan pula kebiasaan peserta didik untuk memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri, baik yang terkait dengan apa yang mereka pelajari di satuan pendidikannya, maupun yang terkait dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan mereka sehari-hari.